RESUME "AGAMA DAN BAYANG-BAYANG ETIS SYAIKH YUSUF AL-MAKASSARI"
Evri Mulyardi
No 6ney7, OSF Preprints from Center for Open Science
Abstract:
Sejarah Syaikh Yusuf tidak terlepas dari sejarah suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan. Di antara sumber-sumber penelitian tentang kehidupan suku Bugis-Makassar adalah pertama, Lontara atau Lontarak, yakni kitab bacaan yang merupakan rekaman masa lalu Sulawesi Selatan. Kedua, La Galigo atau I La Galigo, yakni karya sastra Bugis yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar tahun 1860 oleh bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate. Ketiga, arsip-arsip atau naskah yang ditulis oleh sarjana asing atau sebagai arsip-arsip kolonial yang walaupun masih menimbulkan banyak polemik. Istilah Lontara atau dalam bahasa Makassar Lontarak merujuk pada beberapa pengertian, yaitu: abjad atau huruf, cerita atau bacaan, sejenis pohon dan lain-lain yang semuanya menjadi lambang identitas suku Bugis, Makassar, termasuk Mandar. Sedangkan La Galigo merupakan naskah kuno yang menceritakan keadaan atau sejarah Sulawesi Selatan sebelum masuknya Islam. La Galigo sendiri menurut Soebadio.³ merupakan peninggalan budaya yang telah diakui mempunyai kepentingan besar sekali guna memahami pikiran yang meskipun berbau mitologi dan berupa masa yang sudah lampan namun konteksnya masih berlaku dan menjadi dasar yang sangat penting untuk memahami sendi sendi perwatakan suku di Sulawesi Selatan. Latar belakang budaya atau masyarakat pada waktu Syaikh Yusuf dilahirkan dan dibesarkan pada abad XVI bercirikan keterbukaan terhadap pengaruh luar yang kian besar. Sejak awal sejarah, orang-orang Sulawesi Selatan telah mengenal suatu sistem kepercayaaan." Nenek moyang orang Sulawesi Selatan telah mengenal nama-nama dewa, dan beberapa jenis upacara persembahan telah dilakukan. Inti kepercayaan tersebut adalah konsep-konsep tentang dewa tertinggi yang di sebut To Palaenroe atau sang pencipta Dato Palanro, sang pengatur Aji Patoto, yang dipertuan La Puange, yang mengkaruniakan Rahmat dan menghukum yang bersalah." Konsep dewa tertinggi ini adalah sisa sisa kepercayaan lama orang Bugis pra-Islam yang secara umum disebut Attoriyolong yang secara harfiah berarti tata cara leluhur. Di Kajang disebut Patentung, yang berarti penuntun yang dipimpin oleh seorang yang bergelar Ammatowa yang berarti ayah tertua.
Date: 2021-12-05
References: Add references at CitEc
Citations:
Downloads: (external link)
https://osf.io/download/61add4f6c7d9fb090deb498f/
Related works:
This item may be available elsewhere in EconPapers: Search for items with the same title.
Export reference: BibTeX
RIS (EndNote, ProCite, RefMan)
HTML/Text
Persistent link: https://EconPapers.repec.org/RePEc:osf:osfxxx:6ney7
DOI: 10.31219/osf.io/6ney7
Access Statistics for this paper
More papers in OSF Preprints from Center for Open Science
Bibliographic data for series maintained by OSF ().